Akuntansi
merupakan disiplin ilmu dan praktek yang terbentuk dan berkembang sebagai
praktek sosial di tengah masyarakat. Akuntansi sebagai ilmu pengetahuan sosial
yang disatu pihak telah begitu bermanfaat dalam memberikan kontribusi pragmatisnya
dalam kehidupan, namun disisi lain telah sekian lama pula teralienasi dari
model sosialnya. Akuntansi dibentuk diatas seperangkat asumsi filosofis tentang
pengetahuan, kemanusiaan, dan realitas sosial sebagaimana ilmu-ilmu pengetahuan
modern dibentuk, sarat dengan budaya ilmiah yang disertai objektifikasi,
penjarakan serta kuantifikasi (Chua,1996). Sejalan dengan perubahan dan perkembangan dalam
masyarakat terutama dalam masyarakat bisnis, dapat difahami bahwa akuntansi
secara konsep atau teoritis erat kaitannya dengan akuntansi keuangan. Akuntansi
dapat dikatakan sebagai suatu sistem yang mengukur aktivitas-aktivitas bisnis,
memproses informasi ke dalam bentuk laporan-laporan dan menyampaikannya kepada
para pemakai. Karakteristik kualitatif merupakan ciri khas yang membuat
informasi dalam laporan keuangan berguna bagi pemakai. Menurut PSAK, terdapat empat karateristik kualitatif pokok
yaitu: dapat dipahami (understandibility),
relevan (relevance), keandalan (reliability), dan dapat diperbandingkan
(comparability).
Jika kita melihat pendidikan
akuntansi yang diajarkan di beberapa Perguruan Tinggi (PT), selama ini terkesan
sebagai pengetahuan yang stagnan, mekanis, dan berorientasi pada materialitis.
Stagnan, mekanis, dan materialitis ini dikarenakan pada Pendidikan Akuntansi
terjebak pada definisi terkait dengan akuntansi yang terkesan seakan-akan
bersifat kaku dan baku. Definisi inilah membatasi daya kritis, menjauhkan dari
kreatifitas serta meninggalkan nuansa spiritualitas. Hal tersebut juga
berpengaruh di dalam lingkungan akademik atau pendidikan tinggi yang
menghasilkan sarjana akuntansi, pandangan tentang akuntansi jadi
memprihatinkan. Pendidikan akuntansi cenderung untuk melihat dan “memotret”
akuntansi sebagai proses yang merepresentasikan realitas keuangan dan ekonomi,
umumnya dengan dasar angka atau bentuk standard moneter lainnya. Pandangan ini
membatasi akuntansi hanya pada identifikasi, pencatatan, pengukuran dan
pengkomunikasian informasi ekonomi (Blair et al.,2007). Sebagai akibatnya, para
mahasiswa atau sarjana akuntansi masih berpendapat akuntansi hanya bisa
berperan untuk penyusunan laporan keuangan, pemeriksaan laporan keuangan,
perekayaasaan laporan pajak, system informasi akuntansi, dan peran-peran
“tradisional” lainnya. Bercermin
dari hal itu, maka pendidikan akuntansi memerlukan desekularisasi konsep
pembelajaran dan kurikulum akuntansi konvensional menuju pendidikan akuntansi
yang sesuai dengan nilai-nilai utama masyarakat Indonesia yang mengandung
muatan sikap kritis, penuh kreatifitas, dan nuansa spiritualitas (Ardi Hamzah,
2007).
Dalam perspektif Spiritualitas Akuntansi telah memberikan
warna-warni bagi kehidupan berbangsa dan bernegara terutama spirit untuk
menjalankan pengelolaan pemerintahan yang baik Good Corporate Governance
sehingga memberikan keyakinan dan semangat bagi masyarakat untuk bersama-sama
melakukan perubahan peradaban dunia yang semakin kompleks dengan unsur
materialitas dan spiritualitas. Lebih lanjut Triyuwono (2006) menyatakan
akuntansi modern memiliki karakter khas yang ada dalam dirinya, yaitu karakter
egoistis, materialistis, dan kuantitatif. Kemudian Dalam perspektif ajaran manunggaling
kawulo-Gusti, tiga sifat tersebut tidak perlu dihilangkan, tetapi
sebaliknya disatukan atau dipadukan dalam interaksi yang dinamis dan harmonis
dengan sifat yang lain. Misalnya, sifat egoistis dipadukan dengan altruistis,
sifat materialistis dikawinkan dengan spiritualistis, dan sifat kuantitatif
dengan sifat kualitatif.
Pada nantinya akuntansi bukan sekedar debet kredit, catatan, hitungan,
dan lainnya yang ujung-ujungnya adalah uang. Akuntansi bukan lagi dimaknai
sebagai angka-angka. Akuntansi tidak lagi Konsep tentang pertangungjawaban
dalam akuntansi juga mulai berubah. Meskipun tidak bermaksud untuk mengurangi
pertanggungjawaban keuangan, meluasnya konsep pertanggung jawaban yang
“non-keuangan” menjadi suatu tantangan bagi akuntan.
bersambung..........
0 komentar:
Post a Comment